Fencerahan Dari Gus Rijal Mumazziq Z.
Saya pernah mengantar (almarhum) guru
keliling pakai sepeda motor supra-x yang knalpotnya blong memekakkan telinga.
Alhamdulillah, beliau enjoy saja. Hingga setelah mengisi bensin di SPBU, beliau
nggak mau naik.
"Kok bensinmu bau amis, Jal….?"
tanya beliau.
"Wah, lha kok bisa bensin bau
amis, Pak…?"
"Sebentar, ini tadi kamu beli
bensin pakai uang apa….?"
Saya nyengir.
"Nganu Pak. Ini tadi uang di
amplop pemberian teman saya untuk avisa, dua puluh ribu. Ya saya pinjam dulu
buat beli bensin..."
Raut muka beliau serius. Tampak
mendengus.
"Amis, Jal. Itu uang buat anakmu,
kok kamu pakai buat beli bensin motormu. ITU BUKAN HAKMU. Amis, amis, Jal. Aku
emoh numpak sepeda motormu iki. Nggak betah ambune."
Aduh, kena! Mateng aku!
Saya ngalah. Saya kosongkan tangki
supra-x, lalu saya beli bensin lagi memakai uang halal milik saya, bukan uang
milik avisa.
Setelah itu, brummm bruuuum, guru saya
senyum-senyum saya antar ke Makam Sunan Ampel. Itu pertemuan terakhir sebelum
beliau kundur ke ngarsanipun Gusti Allah, awal 2012.
*************
Bagi beberapa orang spesial, menjaga
asupan makanan yang berkualitas sangat penting. Berkualitas di sini adalah
tinjauan ruhani. Jangan sampai ada barang syubhat, apalagi haram, masuk ke
dalam tubuh yang dipakai beribadah. Baik haram secara dzat(i) seperti babi dan
makanan-minuman yang diharamkan Allah, maupun haram sabab(i), yaitu sesuatu
yang haram karena penyebabnya. Misalnya, harta hasil korupsi, pungli, hasil
mencuri yang digunakan untuk membeli makanan-minuman dan berbagai barang
lainnya.
Makanan yang tidak jelas kehalalannya,
baik sifat maupun proses pengolahannya, akan mempengaruhi jiwa seseorang.
Kemalasan beribadah, keengganan berdzikir, dan keogahan melakukan amal salih
antara lain karena mungkin kita sengaja atau tidak sengaja memakan makanan yang
halal tapi tidak diproses secara halal maupun halal bercampur dengan yang
syubhat maupun haram. (Nah, ini yang sulit bagi penikmat kuliner kayak saya,
hehehe…..)
Beberapa ulama yang zuhud sengaja
dengan ketat membatasi agar keluarganya tetap medapatkan asupan makanan halal.
Misalnya, Habib Munzir bin Fuad Al Musawa. Beliau memilih membeli kambing dan
ayam hidup lalu disembelih sendiri dengan cara Islam. Sebab kalau beli di luar,
meskipun yakin halal, namun tetap khawatir apabila tidak disembelih dengan cara
Islami. Habib Mundzir khawatir apabila sembarangan membeli daging, akan
mempengaruhi kekhusyukan beribadahnya dan mempengaruhi pertumbuhan kesalehan
putra putri beliau.
Ulama lain, Mbah KH. Maimoen Zubair,
juga sangat berhati hati mengenai makanan. Kalau makanan buat keluarga, beliau
memakan dari harta yang dihasilkan oleh tanah pertanian beliau. Kalau untuk
kebutuhan pondok dari beberapa amplop dari orangtua santri. Kalau untuk
aktivitas politik maka beliau menggunakan uang pemberian politisi / amplop
sangu.
Demikian juga saat beraktivitas di NU,
beliau menggunakan dana pribadi. Bahkan, pernah ketika beliau diundang untuk
hadir di acara politik di Jakarta, beliau memilih memproses makanan sendiri di
kamar hotel, karena sejak awal sudah membawa ricecooker sendiri, beras, dan
beberapa lauk yang diawetkan. Almaghfurlah KH. Abdullah Faqih, Langitan, juga
mengatur keuangan untuk keluarga, pondok, dan aktivitas politik beliau dengan
cara memilih dan memilah keuangan agar tidak bercampur antara hak keluarga,
pondok dan umat.
Di masa yang agak lama, ada KH. Adlan
Aly, Cukir, Jombang. Ketajaman mata batin beliau, antara lain, dikarenakan kehati-hatian
beliau dalam mengelola harta dan menjaga asupan makanan. Di tahun 1970-an
hingga satu dekade berikutnya, seusai rapat di Kantor PWNU Jatim di Darmo,
Surabaya, beliau paling ogah mampir ke warung maupun restoran. Semata-mata
kehati-hatian beliau mengenai asupan makanan. Benar-benar menerapkan prinsip
halalan thayyibah. Ya halal, ya baik pula. Jangan heran jika di usia senjanya,
beliau mampu menyimak hafalan al-Qur'an para santrinya secara bersamaan.
.
Beliau duduk dikelilingi 5-7 orang
santri yang masing-masing membacakan hafalannya, dan dalam kondisi suara bacaan
yang saling bersahutan, beliau mampu mencermati bacaan santrinya yang salah
sekaligus membenarkannya. Telinga yang cermat, pikiran yang segar ditunjang
dengan ketajaman mata batin dan ketelitian rasa. Luar biasa.
Dalam "Secercah Tinta: Jalinan
Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta", Habib Lutfi bin Yahya,
Pekalongan, mengisahkan hikayat Kiai Su'bi, Taman, Pemalang, yang datang ke
kediaman Habib Hasyim (kakek Habib Lutfi). Karena Habib Hasyim masih mengajar,
maka Kiai Su'bi menunggu di ruang tamu ditemani Muhammad Bakusyer, abdi ndalem
Habib Hasyim. Waktu dipersilahkan meminum minuman yang telah disuguhkan,
tiba-tiba tangan Kiai Su'bi lumpuh. Tak bisa digerakkan. Hal ini terus berlangsung
sampai Habib Hasyim yang melihat keganjilan ini menanyai Muhammad Bakusyer,
"Beli gula di mana?"
"Di warungnya Mbah Yah,"
"Sudah ijab kabul belum…?"
"Belum."
"Ayo kamu lekas kembali ke
warung!" Habib Hasyim menyuruh.
Setelah sampai di toko, ditanya sama
pemiliknya yang keturunan Tionghoa. "Ada apa Muh….?"
"Tadi saya membeli gula di sini,
belum akad serah terima. Sekarang saya katakan saya serahkan uangnya. Saya beli
ya!"
"Ya, saya jual." kata
pemilik toko.
Saat Muhammad pulang, minuman yang
disuguhkan kepada Kiai Su'bi sudah habis. Tangannya sudah mau digunakan untuk
mengangkat gelas. Sudah halal. Bagi sebagian orang, ini adalah peristiwa
sepele, soal akad bertransaksi. Akad serah terima penjualan. Namun bagi mereka
yang sudah derajatnya Kekasih-Nya, soal akad harus jelas, ada unsur kerelaan,
yang merupakan kerelaan hati, bukan semata dzahirus syar'i. Para ulama wira'i
yang asketis, karena kejernihan mata batinnya, punya semacam detektor apabila
ada barang syubhat bahkan haram di hadapannya, tubuhnya akan bereaksi. Bahkan
ada alergi barang-barang yang "nggak jelas statusnya". Semacam
detektor logam di bandara yang berbunyi saat ada logam besi di hadapannya.
Hehehe….. Dan, kemampuan ilahiah semacam ini adalah karamah yang dianugerahkan
oleh Allah kepada hamba-Nya yang secara konsisten (istiqamah) menjaga
kedisiplinannya dalam bertaqarrub kepada-Nya.
.
Guru saya, yang saya kisahkan di awal
tulisan, juga sama. "Penciuman"-nya tajam. Dan, kejadian di atas
adalah buktinya. Beliau tidak menikah hingga akhir hayatnya. Pakaiannya biasa
saja, demikian pula dengan penampilannya. Agak awut-awutan. Namun soal riyadlah
dan ibadah, jangan tanya, beliau jempolan. Kadangkala, ketika menjumpainya,
saya jadi ingat salah satu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.
Bisa jadi orang yang rambutnya kusut,
berdebu, punya dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika
dia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya.
Lantas bagaimana dengan hamba-Nya yang
ibadahnya masih amburadul dan saat beribadah pikirannya ngelantur ke sana ke
mari, dan belum merasakan nikmatnya beribadah, seperti kita, eh saya, ini….?
Kalau menempuh jalan manusia-manusia spesial seperti orang-orang di atas,
tampaknya malah pontang-panting kewalahan.
Tapi, tidak apa apa, minimal dengan
rajutan cerita di atas kita bisa mematut diri di hadapan keegoan kita, bahwa
kita tidak ada apa apanya di banding mereka dalam hal apapun. Rasanya, nggak
pantas koar koar ke sana kemari dan mengaku diri sebagai "Pengikut
Rasulullah" sedangkan menapak jejak "para pewaris Nabi" seperti
hamba-hamba-Nya di atas dengan berbagai lelakunya, kita, eh saya, masih merasa
berat.
Bagaimana, sahabat Jarjit, adakah solusi
yang tepat agar bisa berhati-hati seperti manusia manusia keren di atas?
Wallahu A'lam Bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar