Bima

Bima

27 Juli, 2018

Hakekat Mahar Atau Bisyaroh Atau Tabsyiroh Dalam Ijazah / Ritual Ilmu Hikmah

Ketika manusia lahir, yang laki-laki harus di-mahari / di-bisyarohi / di- tabshirohi 2 ekor kambing dan yang wanita dengan 1 ekor kambing ( yang terkenal dengan sebutan aqiqah ).

Ketika Nabi Ibrahim didawuh Allah agar menyembelih Ismail, maka atas perintah Allah, Jibril mengganti leher Ismail dengan seekor kambing. Kambing tersebut hakekatnya adalah mahar / bisyaroh / tabsyiroh.

Ketika seorang pria menikahi wanita, maka diwajibkan pada sang pria agar membayar mahar.

Ketika dua orang melakukan akad jual beli, maka yang membeli barang wajib memberikan uang, dan yang dibeli barangnya wajib menerima uangnya. Uang tersebut adalah mahar.

Ketika tukang mengerjakan rehab rumah atas perintah yang punya rumah, ketika karyawan bekerja pada pimpinan, ketika guru mengajar di kelas, ketika ustadz mengajar mengaji, ketika kyai ceramah untuk dakwah, ketika qari tampil lantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan berbagai aktifitas apapun yang libatkan suatu pekerjaan apapun ( yang halal ), maka yang bekerja tersebut wajib menerima upah atau ujroh atau mahar atau bisyaroh atau tabsyiroh.

Dan, ketika murid atau pencari ilmu hikmah atau ilmu spiritual atau ilmu apapun, pada seorang guru ilmu hikmah / spiritual, maka diwajibkan pada si murid untuk menanyakan mahar pada si guru, dan si murid wajib menunaikan mahar tersebut pada si guru. Sebab, salah satu syarat syah-nya suatu pengijazahan / pengajaran ilmu adalah adanya pembayaran mahar.

Mahar harus berdasarkan kesepakatan. Mahar bisa menjadi tidak syah jika ada pemaksaan, penipuan atau pengelabuan. Mahar sangat bermanfaat bagi murid dan guru, karena meningkatkan kualitas pengajaran ilmu tersebut pada murid oleh si guru.

Murid yang enggan keluarkan mahar dalam pengijazahan ilmu, adalah prototipe dan jenis murid yang benar-benar tidak menghargai ilmu, meremehkan keilmuan guru, mau enaknya sendiri, cari untungnya sendiri, egois, pelit, kikir dan merendahkan diri sendiri.

Sedangkan Allah dan Nabi sangat membolehkan guru dan siapapun yang bekerja atau berkarya berhak mendapatkan ujroh atau honor atau upah atau fee dari yang dikerjakan / diamalkan tersebut.

Si murid kurang mengerti dan menghayati, bagaimana susah-payahnya, beratnya dan mahalnya si guru dulu untuk dapatkan ilmu-ilmu tersebut.

Kalaupun si murid menunaikan atau membayar mahar, ia mengeluarkannya dengan penuh perhitungan, maju-mundur, dengan syak-wasangka ( su'udzon ), dengan jumlah mahar yang sangat minimal ( karena faktor kikir ) tapi dengan berbagai permintaan ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi, dengan sampaikan berbagai syarat yang beratkan guru, dll.

" Menjual " ilmu-ilmu spiritual / supranatural, memang vulgar, tapi diyakini, bahwa sang guru memasang mahar amat tinggi, semata-mata agar masyarakat luas menghormati dan menghargai ilmu-ilmu spiritual dengan proporsional dan selayaknya.

Ketahuilah, bahwa manfaat / fadhilah mahar, antara lain :
● Bebungah ( pembuat gembira kepada guru ).
● Percepat qabul hajat-hajat.
● Zakat jiwa.
● Shadaqah batin.
● Penolak bala'.
● Penarik berbagai berkah.
● Penyembuh berbagai penyakit.
● Penarik berbagai rizqi.
● Menarik malaikat-malaikat bumi.
● Pencegah berbagai kejahatan.
● Perkuat aura, kharisma & wibawa diri.
● Pemberkah ilmu yg diijazahkan.
● Peningkat tajam batin.
● Tolak berbagai bencana.
● Dan 1001 fadhilah lain.

Dan yang sangat hebat adalah, bahwa mahar yang diberikan dengan ikhlas dan legowo, maka mahar tersebut, akan kembali pada si pemberi mahar berlipat-lipat, bahkan 700 kali lipat….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar