Penjelasan Habib Munzir tentang Makna Bai’at dan Ijazah
Bai’at adalah sumpah setia, bisa saja murid sumpah setia
pada gurunya, anak pada ayahnya, atau teman pada temannya, namun yang saya
kurang setuju jika bai’at ini diwajibkan, padahal bai’at dalam kelompok dzikir
tak pernah diwajibkan bai’at, kenapa orang tidak boleh ikut dzikir suatu
kelompok kecuali harus sumpah setia dulu….?
Dalam tarekat alawiyin tak ada bai’at, kecuali sumpah setia
murid pada gurunya jika mau, tak diwajibkan.
Mengenai Ijazah, asal mulanya adalah bahwa setiap doa doa yang
bukan dari Hadits Rasul saw biasanya dibutuhkan ijazah, apakah makna ijazah….?
Ijazah itu izin yang diberikan guru pada muridnya, kenapa
harus pakai Ijazah…?, karena setiap guru memahami doa mana yang boleh dibaca,
dan doa mana yang tak baik diamalkan, mungkin murid tak faham maknanya, namun
guru akan tahu mungkin ada kalimat kalimat yang menyimpang dari syariah, atau ada
kalimat yang salah hurufnya hingga merubah makna. Maka para guru guru kita
selalu tidak membolehkan murid membaca doa kecuali dengan Ijazah (izin), agar
tidak terjerumus pada hal hal yang menyimpang dari syari’ah. Aaah… alangkah
indahnya penjagaan mereka menjaga ummat ini, namun ini menjadi sangka buruk dan
tuduhan besar dengan mengecam bahwa ijazah itu bid’ah.
Ijazah diperlukan adalah guna izin saja dan memperkuat sanad
(sanad = hubungan periwayat, dari fulan, kepada fulan, kepada fulan, sampai
pada ujungnya ), dari guru kepada kita bahwa kita boleh mengamalkannya, misalnya
murid ingin mengamalkan dzikir shalawat sebanyak 5 ribu kali setiap hari, maka
gurunya akan melihat, wah.. dia ini (misalnya) siang hari sibuk bekerja, dan malam
hari selalu begadang duduk dengan teman - temannya dalam hal yang tak berarti,
maka baiknya ia membaca dzikir itu dimalam hari, maka gurunya mengizinkannya membaca
itu tapi di malam hari, guru lebih tahu mana dzikir yang pantas cocok diamalkan
mana yang tidak, disamping itu Ijazah adalah juga menyambung sanad guru, yaitu
hubungan ruh (jika tak jumpa dizamannya) antara sipembaca dengan yang membuat
dzikir itu,
Nah.. misalnya saya sudah punya ijazah suatu dzikir, maka saya
sudah mempunyai hubungan dengan pemilik doa tersebut walaupun belum pernah
bertemu, misalnya anda mempunyai Guru kyai fulan, guru anda membuat sebuah doa
yang sangat mulia, saya ingin mengamalkannya, ya boleh saja, namun bukankah
baiknya saya izin padanya…?, jika tidak sempat atau ia telah wafat, maka saya
izin dari anda, karena anda muridnya, anda lebih tahu apakah doa itu dan
kemuliaannya, maka anda mengijazahkannya (mengizinkannya) pada saya,
Demikian ijazah dari para Imam Imam terdahulu diijazahkan pada
muridnya demikinan berkesinambungan hingga kini, kembali ke masalah saya ingin
membaca doa yang dibuat guru anda, tentunya boleh saja saya membacanya tanpa
izin pada anda, karena doa itu telah dicetak bebas misalnya, namun tentunya
lebih sempurna jika saya sudah mendapat izin dari beliau atau muridnya yang
telah mengamalkan doa itu, sebagian besar doa adalah dari Rasul saw maka tak
perlu ijazah apa”.
Kembali pada awal jawaban saya bahwa hampir semua doa tak
perlu ijazah, karena semuanya adalah doa pada Allah swt, namun dengan adanya
ijazah maka lebih membawa kemuliaan karena terhubung dengan pembuatnya lewat
muridnya, atau murid dari muridnya, demikian hingga sampai pada kita, demikian
indahnya syariah ini, sebagaimana makmum yang di shaff yang keseratus tetap
mendapat pahala jama’ah dan tetap bersambung pada shalat Imamnya, demikian shaf
pertama melihat gerakan Imam, shaf kedua tidak melihat gerakan imam namun
melihat gerakan makmum shaf pertama, lalu shaf ketiga melihat gerakan makmum
shaf kedua, demikian dari generasi ke generasi ummat ini hingga kini,
bersambung satu sama lain, demikian kita dengan para imam imam kita, demikian
ahlussunnah wal jamaah, kita bagaikan rantai yang tak terputuskan, jika
bergerak satu mata rantai maka bergetar seluruh rantai hingga ujungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar