Bima

Bima

28 Juli, 2017

PENJELASAN TENTANG IJAZAH Khusus & Ijazah Umum

Saya ingin mengupas sedikit tentang Ijazah dan keharusan bagi pengamal wirid untuk meng ijazahkan amalan yang mereka terima. Ijazah bagi kalangan Hikmah berbeda pengertiannya dengan ijazah untuk pelajar pada sekolah formal. Ijazah yang dimaksud adalah perkenan untuk membaca suatu amalan wirid dengan tata cara yang ditentukan.

Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.

Dalam dunia supranatural / hikmah, Ijazah adalah suatu tindakan berisyarat pemberian hak / izin suatu amalan dan ilmu spiritual dari seorang yang ahli (Guru) kepada seorang Murid. Ada yang lebih mengkhususkan lagi pengertian Ijazah yaitu pemberian hak suatu amalan dan penanaman benih suatu ilmu dari ruh seorang guru ke dalam ruh seorang murid tanpa terikat di dalam suatu tindakan kewajiban dan khidmat.

Secara singkat ijazah merupakan izin seorang guru kepada murid untuk melakukan sebuah amalan. Dalam sebagian pandangan kaum sufi, pemberian ijazah kepada murid hukumnya adalah wajib karena orang yang mempelajari ilmu hikmah berkaitan erat dengan spiritual yang berhubungan dengan hal-hal ghaib. Maka dari itu, izin dari seorang guru yang berupa ijazah kepada muridnya sangatlah diperlukan agar mendapatkan bimbingan dan arahan dari seorang guru agar kelak tidak tersesat oleh tipu daya setan maupun jin kafir.

Peran Ijazah
Ijazah sangat berperan dalam belajar ilmu hikmah. Tanpa izin atau ijazah yang diberikan seorang guru, akan menjadi sia-sia kelimuan yang dipelajarinya. Menjadi suatu keistimewaan dan kebanggan tersendiri ketika seseorang diberikan sebuah amalan yang memiliki fungsi atau hikmah tertentu sehingga memperoleh manfaat yang diharapkannya.

Melakukan beberapa amalan tanpa ijazah akan berdampak buruk terhadap pengamalnya. Ada beberapa risiko yang akan dialami oleh para pelaku amalan tanpa izin seorang guru. Hal ini karena tidak ada suatu bimbingan seorang guru spiritual. Beberapa risiko suatu amalan tanpa adanya ijazah di antaranya adalah kegilaan, mudah emosi, rawan kerasukan, dan kurangnya berkah dari ilmu yang dipelajari.

Dengan demikian, ijazah memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dalam melakoni sebuah amalan ilmu hikmah yang merupakan sebagai nur ilahiah. Di samping itu, ijazah mempunyai fungsi yang sangat istimewa. Beberapa fungsi ijazah adalah untuk menyambungkan garis silsilah keguruan, mendapat keberkahan dalam mengamalkan ilmu yang akan diamalkan, terjaga dari gangguan jin yang menyamar menjadi khodam ilmu yang akan diamalkan, mendapat keramat atau energi besar dari Guru sebelumnya, dan mendapat maqom atau derajat amalan yang mirip dengan Guru guru sebelumnya Syaikh Abu Thalib Al–Makki mengatakan bahwa setiap ilmu spiritual pastilah mempunyai kedudukannya sendiri di sisi Allah SWT. Maka dari itu, untuk bisa menguasai ilmu spiritual dengan sempurna, dibutuhkan bantuan seseorang yang sudah sampai derajat maqamnya pada ilmu tersebut.

Dalam hal ini, ijazah seorang guru yang telah sampai pada derajat keilmuan dibutuhkan agar si murid mampu menguasai ilmunya secara sempurna. Namun jika tidak memperoleh suatu Ijazah dari seorang guru yang menjadi ahli dalam ilmu spiritual tersebut, maka pastilah si murid akan sangat kesulitan untuk menguasai ilmunya, akan tersesat di jalan setan, bahkan berbahaya pada kelangsungan hidupnya sehingga mengakibatkan ketidakberkahan dalam hidupnya.

Di mana di dalam belajar ilmu hikmah tersebut siswa tidak lepas dari adab dan tata cara yang meliputi pengijazahan dengan adanya mahar. Sedangkan pengertian mahar dalam ijazah ilmu hikmah adalah biaya dari pengijazahan tersebut. Dan mahar ini merupakan adab dan ketentuan umum di dalam pengijazahan suatu keilmuan.

Ada 3 jenis ijazah :
1. Ijazah ‘Ammah ( umum )
2. Ijazah Khususiyah ( Khususon )
3. Ijazah Ghoibiyah

I. Ijazah ‘Ammah
Ijazah jenis ini sangat gampang di jumpai. Misalnya dari buku-buku doa yang menyampaikan informasi tentang bentuk suatu amalan wirid. Atau pun dari suatu majelis yang memberikan Ijazah untuk jamaahnya secara global. Biasanya Ijazah jenis ini tidak menyertakan jumlah hitungan dan sanadnya. Contohnya seorang Kyai memberikan keterangan tentang faedah suatu sholawat, dan menyarankan membacanya agar mendapatkan faedah yang dimaksud. Ijazah ‘ammah juga biasanya tidak melihat siapa yang menjadi pembacanya. Jadi siapapun bisa dan boleh mengamalkan wiridan tersebut.

II. Ijazah Khususiyah ( Khususon )
Ijazah jenis ini lebih spesifik. Ijazah ini umumnya bermahar, mahar yang di tetapkan oleh seorang guru dan harus dipenuhi oleh si murid, bisa berupa uang, barang / benda, amaliah, ataupun tugas / perintah / kerjaan. Biasanya dilihat dari karakter sipengamal dan ijazah yang dikeluarkan.

Jenis wirid yang dikeluarkan juga lebih khusus. Misalnya Hizib, sholawat khusus atau Asma. Semua karakter amalan yang mengandung tingkat karakteristik lebih ‘ panas ‘ biasanya di ijazahkan secara hati-hati.

Ataupun suatu amalan yang notabene lebih ringan namun mempunyai tata cara khusus untuk sampai ke tingkat terbukanya Hijab / keterkabulan Hajat si pengamal. Beberapa hal yang menyertai Ijazah ini adalah adanya :
A. Sanad / mata rantai mujiz
Sanad ini pun terbagi dua :
• Sanad Sughro
Ijazah ini mempunyai sanad yang tidak terlalu panjang. Mungkin hanya sebatas 3 orang sampai 5 nama menyertakan Mujiz nya.
• Sanad Kubro
Ijazah ini mempunyai sanad yang lebih lengkap dan panjang juga biasanya disertai dengan beberapa nama khusus yang berkaitan dengan isi amalan wirid tersebut. Misalnya nama dari beberapa penjaga ( baca : Khodam ayat ) yang menyertai amalan itu. Untuk sanad yang seperti ini biasanya di punyai oleh Jama’ah Thoriqoh. Hanya saja tidak ada nama khodam ayat seperti dalam amalan hikmah.

B. Hitungan / jumlah
Untuk hitungan pun, ijazah jenis ini lebih disiplin. Sang Mujiz biasanya menyertakan sejumlah bentuk hitungan dalam bacaan tersebut. Ada hitungan ringan untuk harian yang terbagi menjadi 3 waktu dan Hitungan accident ( darurat.red )

Sebagai contoh pembagiannya seperti dibawah ini :
@. Hitungan Harian
• Hitungan ringan.
Wirid yang dibaca dalam satu waktu dalam sehari diwaktu tertentu. Misalnya : Ayat Qursyi yang dibaca 3 kali saat waktu maghrib.
• Hitungan sedang.
Wirid yang dibaca 2 kali dalam waktu tertentu. Misal : Ayat Qursyi dibaca 3 kali saat waktu maghrib dan shubuh.
• Hitungan berat.
Wirid yang dibaca setiap ba’da sholat fardhu. Misal : Ayat Qursyi dibaca 3 kali setiap ba’da sholat fardhu.
@. Hitungan accidential
• Hitungan khusus yang berkaitan dengan saat Riyadhoh.
Hitungan ini biasanya hanya dibaca saat menjalani / melakoni Riyadhoh , selesai riyadhoh maka jumlah itu diturunkan untuk pengamalan harian.
• Hitungan khusus yang berkaitan dengan Hajat
Hanya dibaca satu kali saja dalam riyadhoh untuk mendapatkan Hajat. Ijazah jenis ini biasanya mempunyai dosis yang lumayan berat. Misalnya saya pernah mendapat Ijazah Sholawat Jibril dari KH. Kholil Bisri, rembang- yang mesti dibaca sebanyak 15.000 kali. Ijazah itu hanya dibaca sekali saja dalam satu majelis ( Walopun jika mau dan sanggup tidak ada salahnya di ulang ).

III. Ijazah Ghoibiyah
Ijazah jenis ini jarang diterima orang awam. Biasanya hanya diterima kalangan Khowas / mursyid tertentu. Setelah melampaui berbagai syarat maka bisa ditentukan apakah ijazah ini berlaku untuk dirinya sendiri atau bisa dikeluarkan kepada umat. Ijazah jenis ini menjadi bukti akan keramatnya seorang ‘ khowas ‘ dan dekatnya maqom beliau kepada Allah Ta’ala. Namun pada beberapa kasus
ada juga orang-orang tertentu mendapatkan ijazah ghoibiyah. Dan yang terbaik adalah dipertanyakan kepada yang mengerti ( Mursyid. Red ). Biasanya ijazah ini akan membawa kebaikan bagi sipenerima. Baik urusan dunia dan akhiratnya. Terlebih bagi kepribadian yang bersangkutan.

Pasti akan mengalami perobahan kearah yang lebih agamis, santun dan terarah. Saya pernah kenal dengan orang yang mengalami ini. Sekarang beliau menjadi santrinya Syeikhina Al-Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan.

Ijazah yang didapat merupakan perkenan bagi seseorang untuk membacanya. Dengan adanya Ijazah ini maka akan terbentuklah kemantapan hati bagi sipengamal. Dengan Ijazah maka hasil yang benar pun akan didapatkan. Pengalaman menunjukkan dengan adanya mujiz yang menunjukkan cara pengamalan yang benar, maka tingkat keberhasilan seseorang bisa dipastikan lebih cepat dan bagus.

Kemudian timbul pertanyaan, “ Apakah orang yang tidak mempunyai guru kemudian mendapatkan informasi tentang sebentuk amalan, maka apakah hasil yang didapat tidak benar atau tidak akan berhasil ?”

Wiridan hampir sama seperti matematika. Hanya saja matematika adalah ilmu pasti. Jika 2×2 = 4, maka ilmu wirid tidaklah demikian. Ilmu Wirid adalah keyakinan yang berbalut agama. Walaupun demikian tetap diperlukan hitungan dan rumus yang tepat. Laboratorium, rumus dan alat dipastikan harus ada. Laboratoriumnya adalah tempat kita kholwat / riyadhoh, rumusnya adalah hitungan dan jumlah yang tepat, sedangkan alat yang kita pakai bisa berupa tasbih , biji-bijian, minyak dan ubo rampe lainya. Dan hasilnya bisa seperti yang kita inginkan, atau berbeda. Malah ga jarang bisa gagal.

Ilmu wirid adalah kombinasi antara imaginasi, logika dan mantra ( doa / wirid.red ). Contohnya seperti ini, saat saya ribut dengan istri biasanya dia akan mendiamkan saya selama beberapa hari.

Nah… yang repot ya saya, ga ada yang kasih sarapan, makan atau setrika baju. Pokoknya di cuekin abis… apa yang saya lakukan agar dia mau saya ajak baikan lagi ?? Biasanya saya akan melaksanakan suatu ‘ riyadhoh kecil ‘. Caranya ?? Malam hari saya akan melaksanakan hajat dengan niat minta dibaikkan urusan saya dengan istri. Saat pembacaan wirid, maka benak saya akan membayangkan ( baca : Imajinasi ) istri dengan keadaan yang menyenangkan. Wirid tadi sebagai senjata / wasilah saya dalam berhadapan dengan dia. Logikanya…saya bersikap lebih baik dengan dia akan niat saya tadi.

Hasilnya ?? Ya bagus sekali… dalam hitungan jam, atau besok paginya sudah bisa dipastikan dia akan menegor saya.

Kembali kepada pertanyaan di atas. Jawaban saya : BISA !! tanpa ijazah dan petunjuk sekalipun, asal dia yakin bisa saja terjadi keajaiban. Orang yang seperti ini biasanya bersandar kepada kemauan hati dan niat yang kuat. Jeleknya… saat menemui kendala dia akan kebingungan. Ibarat orang naik perahu tapi tidak mengerti cara membuka layar. Ijazah mempunyai beberapa point penting. Antara lain :
• Mengikuti sunah Rasul, bahwa belajar harus dengan bimbingan guru
• Mentaati perintah Guru, adanya hubungan batiniyah dengan mujiz
• Kemantapan hati dalam beramal. Karena mengerti tata caranya dengan baik.
• Mengikuti mata rantai / sanad ilmu yang semestinya.
• Menghilangkan kebingungan dan kebimbangan hati.
Maka alangkah baiknya, siapapun mereka yang mencintai dunia wirid dengan segala kerumitannya akan mencari guru yang baik. Dengan itu maka apa yang menjadi kendalanya akan terburai. Sang Guru yang bijak akan menjadi tempat bertanya bagi simurid. Maka ilmu akan turun dengan tertib mengikuti perkembangan batiniyah si murid. Pondasi yang ditanamkan akan menghujam kuat kesanubari. Ilmu akan berkembang dengan baik. Walaupun keadaan dilapangan sebagian orang masih mengikuti pakem tradisional secara turun temurun. Hal ini tidak bisa disalahkan. Pada intinya ilmu adalah apa yang kau yakini dengan hatimu. Peran terpenting dari sebentuk ijazah adalah Guru.

Yang terbaik bagimu adalah mendapatkan seorang Guru yang bijak dan mempunyai hikmah. Guru yang baik akan mengantarmu ke gerbang Futuh yang sebenarnya. Guru yang hatinya berkarat akan membuatmu tersesat dan hilang dari rahmat Allah SWT.

Maka carilah Sang Guru itu demi kebaikanmu. Mintalah dalam munajatmu kepada Allah SWT seorang guru sejati yang dapat membimbing lahir dan batinmu. Bukan hanya sampai keterkabulan hajat. Karena sesungguhnya setan pun dapat mengabulkan hajatmu. Mursyidmu adalah seseorang yang kelak menolongmu dalam gelombang dahsyat Hari Pembalasan. Pertolongan yang berupa perpanjangan syafaat dari Rasulullah SAW. Dan yang terbaik adalah jika sang Guru bersambung, baik itu SANAD ilmunya atau NASAB nya kepada Beliau SAW. Pilihlah satu diantaranya. Alangkah beruntungnya mereka yang bersama Gurunya kelak. Bergandengan tangan, beriringan menuju keindahan abadi di dalam Jannah. Semoga aku pun termasuk diantara yang beruntung itu.

Semoga risalah ini berguna bagimu. Izinkanlah saya dan semua keluarga serta guru dan mursyid menjadi bagian yang terindah bagimu. Apapun itu bentuknya, sesungguhnya kita mencintai kebaikan. Tugas kitalah untuk menarik para sahabat yang terperosok, agar kembali bangkit… Doaku  selalu untuk para Sahabat.

Sanad
Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at.

Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qiraa’at, yang berhulu pada Rasulullah SAW.  Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.

Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa alada’ (mengambil dan memberi).

Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.

Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.

Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin ( 110 H/728 M) mengungkapkan :
“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.

Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :
“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.

Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.

Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar