Saya ingin mengupas sedikit tentang Ijazah dan keharusan bagi
pengamal wirid untuk meng ijazahkan amalan yang mereka terima. Ijazah bagi
kalangan Hikmah berbeda pengertiannya dengan ijazah untuk pelajar pada sekolah
formal. Ijazah yang dimaksud adalah perkenan untuk membaca suatu amalan wirid dengan
tata cara yang ditentukan.
Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul
ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan
tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya
diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada
muridnya itu.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an
menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.
Dalam dunia supranatural / hikmah, Ijazah adalah suatu
tindakan berisyarat pemberian hak / izin suatu amalan dan ilmu spiritual dari
seorang yang ahli (Guru) kepada seorang Murid. Ada yang lebih mengkhususkan
lagi pengertian Ijazah yaitu pemberian hak suatu amalan dan penanaman benih suatu
ilmu dari ruh seorang guru ke dalam ruh seorang murid tanpa terikat di dalam
suatu tindakan kewajiban dan khidmat.
Secara singkat ijazah merupakan izin seorang guru kepada murid
untuk melakukan sebuah amalan. Dalam sebagian pandangan kaum sufi, pemberian
ijazah kepada murid hukumnya adalah wajib karena orang yang mempelajari ilmu
hikmah berkaitan erat dengan spiritual yang berhubungan dengan hal-hal ghaib. Maka
dari itu, izin dari seorang guru yang berupa ijazah kepada muridnya sangatlah
diperlukan agar mendapatkan bimbingan dan arahan dari seorang guru agar kelak
tidak tersesat oleh tipu daya setan maupun jin kafir.
Peran Ijazah
Ijazah sangat berperan dalam belajar ilmu hikmah. Tanpa izin
atau ijazah yang diberikan seorang guru, akan menjadi sia-sia kelimuan yang
dipelajarinya. Menjadi suatu keistimewaan dan kebanggan tersendiri ketika seseorang
diberikan sebuah amalan yang memiliki fungsi atau hikmah tertentu sehingga
memperoleh manfaat yang diharapkannya.
Melakukan beberapa amalan tanpa ijazah akan berdampak buruk
terhadap pengamalnya. Ada beberapa risiko yang akan dialami oleh para pelaku
amalan tanpa izin seorang guru. Hal ini karena tidak ada suatu bimbingan seorang
guru spiritual. Beberapa risiko suatu amalan tanpa adanya ijazah di antaranya
adalah kegilaan, mudah emosi, rawan kerasukan, dan kurangnya berkah dari ilmu
yang dipelajari.
Dengan demikian, ijazah memiliki peran dan fungsi yang sangat
vital dalam melakoni sebuah amalan ilmu hikmah yang merupakan sebagai nur
ilahiah. Di samping itu, ijazah mempunyai fungsi yang sangat istimewa. Beberapa
fungsi ijazah adalah untuk menyambungkan garis silsilah keguruan, mendapat keberkahan
dalam mengamalkan ilmu yang akan diamalkan, terjaga dari gangguan jin yang
menyamar menjadi khodam ilmu yang akan diamalkan, mendapat keramat atau energi besar
dari Guru sebelumnya, dan mendapat maqom atau derajat amalan yang mirip dengan
Guru guru sebelumnya Syaikh Abu Thalib Al–Makki mengatakan bahwa setiap ilmu
spiritual pastilah mempunyai kedudukannya sendiri di sisi Allah SWT. Maka dari
itu, untuk bisa menguasai ilmu spiritual dengan sempurna, dibutuhkan bantuan
seseorang yang sudah sampai derajat maqamnya pada ilmu tersebut.
Dalam hal ini, ijazah seorang guru yang telah sampai pada
derajat keilmuan dibutuhkan agar si murid mampu menguasai ilmunya secara
sempurna. Namun jika tidak memperoleh suatu Ijazah dari seorang guru yang
menjadi ahli dalam ilmu spiritual tersebut, maka pastilah si murid akan sangat
kesulitan untuk menguasai ilmunya, akan tersesat di jalan setan, bahkan
berbahaya pada kelangsungan hidupnya sehingga mengakibatkan ketidakberkahan
dalam hidupnya.
Di mana di dalam belajar ilmu hikmah tersebut siswa tidak
lepas dari adab dan tata cara yang meliputi pengijazahan dengan adanya mahar. Sedangkan
pengertian mahar dalam ijazah ilmu hikmah adalah biaya dari pengijazahan
tersebut. Dan mahar ini merupakan adab dan ketentuan umum di dalam pengijazahan
suatu keilmuan.
Ada 3 jenis ijazah :
1. Ijazah ‘Ammah ( umum )
2. Ijazah Khususiyah ( Khususon )
3. Ijazah Ghoibiyah
I. Ijazah ‘Ammah
Ijazah jenis ini sangat gampang di jumpai. Misalnya dari buku-buku
doa yang menyampaikan informasi tentang bentuk suatu amalan wirid. Atau pun
dari suatu majelis yang memberikan Ijazah untuk jamaahnya secara global.
Biasanya Ijazah jenis ini tidak menyertakan jumlah hitungan dan sanadnya.
Contohnya seorang Kyai memberikan keterangan tentang faedah suatu sholawat, dan
menyarankan membacanya agar mendapatkan faedah yang dimaksud. Ijazah ‘ammah
juga biasanya tidak melihat siapa yang menjadi pembacanya. Jadi siapapun bisa
dan boleh mengamalkan wiridan tersebut.
II. Ijazah Khususiyah ( Khususon )
Ijazah jenis ini lebih spesifik. Ijazah ini umumnya bermahar,
mahar yang di tetapkan oleh seorang guru dan harus dipenuhi oleh si murid, bisa
berupa uang, barang / benda, amaliah, ataupun tugas / perintah / kerjaan. Biasanya
dilihat dari karakter sipengamal dan ijazah yang dikeluarkan.
Jenis wirid yang dikeluarkan juga lebih khusus. Misalnya Hizib,
sholawat khusus atau Asma. Semua karakter amalan yang mengandung tingkat
karakteristik lebih ‘ panas ‘ biasanya di ijazahkan secara hati-hati.
Ataupun suatu amalan yang notabene lebih ringan namun mempunyai
tata cara khusus untuk sampai ke tingkat terbukanya Hijab / keterkabulan Hajat
si pengamal. Beberapa hal yang menyertai Ijazah ini adalah adanya :
A. Sanad / mata rantai mujiz
Sanad ini pun terbagi dua :
• Sanad Sughro
Ijazah ini mempunyai sanad yang tidak terlalu panjang. Mungkin
hanya sebatas 3 orang sampai 5 nama menyertakan Mujiz nya.
• Sanad Kubro
Ijazah ini mempunyai sanad yang lebih lengkap dan panjang juga
biasanya disertai dengan beberapa nama khusus yang berkaitan dengan isi amalan
wirid tersebut. Misalnya nama dari beberapa penjaga ( baca : Khodam ayat ) yang
menyertai amalan itu. Untuk sanad yang seperti ini biasanya di punyai oleh
Jama’ah Thoriqoh. Hanya saja tidak ada nama khodam ayat seperti dalam amalan
hikmah.
B. Hitungan / jumlah
Untuk hitungan pun, ijazah jenis ini lebih disiplin. Sang
Mujiz biasanya menyertakan sejumlah bentuk hitungan dalam bacaan tersebut. Ada
hitungan ringan untuk harian yang terbagi menjadi 3 waktu dan Hitungan accident
( darurat.red )
Sebagai contoh pembagiannya seperti dibawah ini :
@. Hitungan Harian
• Hitungan ringan.
Wirid yang dibaca dalam satu waktu dalam sehari diwaktu tertentu.
Misalnya : Ayat Qursyi yang dibaca 3 kali saat waktu maghrib.
• Hitungan sedang.
Wirid yang dibaca 2 kali dalam waktu tertentu. Misal : Ayat
Qursyi dibaca 3 kali saat waktu maghrib dan shubuh.
• Hitungan berat.
Wirid yang dibaca setiap ba’da sholat fardhu. Misal : Ayat
Qursyi dibaca 3 kali setiap ba’da sholat fardhu.
@. Hitungan accidential
• Hitungan khusus yang berkaitan dengan saat Riyadhoh.
Hitungan ini biasanya hanya dibaca saat menjalani / melakoni Riyadhoh
, selesai riyadhoh maka jumlah itu diturunkan untuk pengamalan harian.
• Hitungan khusus yang berkaitan dengan Hajat
Hanya dibaca satu kali saja dalam riyadhoh untuk mendapatkan Hajat.
Ijazah jenis ini biasanya mempunyai dosis yang lumayan berat. Misalnya saya
pernah mendapat Ijazah Sholawat Jibril dari KH. Kholil Bisri, rembang- yang
mesti dibaca sebanyak 15.000 kali. Ijazah itu hanya dibaca sekali saja dalam
satu majelis ( Walopun jika mau dan sanggup tidak ada salahnya di ulang ).
III. Ijazah Ghoibiyah
Ijazah jenis ini jarang diterima orang awam. Biasanya hanya
diterima kalangan Khowas / mursyid tertentu. Setelah melampaui berbagai syarat
maka bisa ditentukan apakah ijazah ini berlaku untuk dirinya sendiri atau bisa
dikeluarkan kepada umat. Ijazah jenis ini menjadi bukti akan keramatnya seorang
‘ khowas ‘ dan dekatnya maqom beliau kepada Allah Ta’ala. Namun pada beberapa
kasus
ada juga orang-orang tertentu mendapatkan ijazah ghoibiyah.
Dan yang terbaik adalah dipertanyakan kepada yang mengerti ( Mursyid. Red ).
Biasanya ijazah ini akan membawa kebaikan bagi sipenerima. Baik urusan dunia
dan akhiratnya. Terlebih bagi kepribadian yang bersangkutan.
Pasti akan mengalami perobahan kearah yang lebih agamis,
santun dan terarah. Saya pernah kenal dengan orang yang mengalami ini. Sekarang
beliau menjadi santrinya Syeikhina Al-Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan.
Ijazah yang didapat merupakan perkenan bagi seseorang untuk membacanya.
Dengan adanya Ijazah ini maka akan terbentuklah kemantapan hati bagi
sipengamal. Dengan Ijazah maka hasil yang benar pun akan didapatkan. Pengalaman
menunjukkan dengan adanya mujiz yang menunjukkan cara pengamalan yang benar,
maka tingkat keberhasilan seseorang bisa dipastikan lebih cepat dan bagus.
Kemudian timbul pertanyaan, “ Apakah orang yang tidak mempunyai
guru kemudian mendapatkan informasi tentang sebentuk amalan, maka apakah hasil
yang didapat tidak benar atau tidak akan berhasil ?”
Wiridan hampir sama seperti matematika. Hanya saja matematika
adalah ilmu pasti. Jika 2×2 = 4, maka ilmu wirid tidaklah demikian. Ilmu Wirid
adalah keyakinan yang berbalut agama. Walaupun demikian tetap diperlukan
hitungan dan rumus yang tepat. Laboratorium, rumus dan alat dipastikan harus
ada. Laboratoriumnya adalah tempat kita kholwat / riyadhoh, rumusnya adalah
hitungan dan jumlah yang tepat, sedangkan alat yang kita pakai bisa berupa
tasbih , biji-bijian, minyak dan ubo rampe lainya. Dan hasilnya bisa seperti
yang kita inginkan, atau berbeda. Malah ga jarang bisa gagal.
Ilmu wirid adalah kombinasi antara imaginasi, logika dan
mantra ( doa / wirid.red ). Contohnya seperti ini, saat saya ribut dengan istri
biasanya dia akan mendiamkan saya selama beberapa hari.
Nah… yang repot ya saya, ga ada yang kasih sarapan, makan atau
setrika baju. Pokoknya di cuekin abis… apa yang saya lakukan agar dia mau saya
ajak baikan lagi ?? Biasanya saya akan melaksanakan suatu ‘ riyadhoh kecil ‘.
Caranya ?? Malam hari saya akan melaksanakan hajat dengan niat minta dibaikkan
urusan saya dengan istri. Saat pembacaan wirid, maka benak saya akan
membayangkan ( baca : Imajinasi ) istri dengan keadaan yang menyenangkan. Wirid
tadi sebagai senjata / wasilah saya dalam berhadapan dengan dia. Logikanya…saya
bersikap lebih baik dengan dia akan niat saya tadi.
Hasilnya ?? Ya bagus sekali… dalam hitungan jam, atau besok paginya
sudah bisa dipastikan dia akan menegor saya.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Jawaban saya : BISA !!
tanpa ijazah dan petunjuk sekalipun, asal dia yakin bisa saja terjadi
keajaiban. Orang yang seperti ini biasanya bersandar kepada kemauan hati dan
niat yang kuat. Jeleknya… saat menemui kendala dia akan kebingungan. Ibarat
orang naik perahu tapi tidak mengerti cara membuka layar. Ijazah mempunyai
beberapa point penting. Antara lain :
• Mengikuti sunah Rasul, bahwa belajar harus dengan bimbingan
guru
• Mentaati perintah Guru, adanya hubungan batiniyah dengan mujiz
• Kemantapan hati dalam beramal. Karena mengerti tata caranya
dengan baik.
• Mengikuti mata rantai / sanad ilmu yang semestinya.
• Menghilangkan kebingungan dan kebimbangan hati.
Maka alangkah baiknya, siapapun mereka yang mencintai dunia wirid
dengan segala kerumitannya akan mencari guru yang baik. Dengan itu maka apa
yang menjadi kendalanya akan terburai. Sang Guru yang bijak akan menjadi tempat
bertanya bagi simurid. Maka ilmu akan turun dengan tertib mengikuti
perkembangan batiniyah si murid. Pondasi yang ditanamkan akan menghujam kuat kesanubari.
Ilmu akan berkembang dengan baik. Walaupun keadaan dilapangan sebagian orang masih
mengikuti pakem tradisional secara turun temurun. Hal ini tidak bisa
disalahkan. Pada intinya ilmu adalah apa yang kau yakini dengan hatimu. Peran
terpenting dari sebentuk ijazah adalah Guru.
Yang terbaik bagimu adalah mendapatkan seorang Guru yang bijak
dan mempunyai hikmah. Guru yang baik akan mengantarmu ke gerbang Futuh yang
sebenarnya. Guru yang hatinya berkarat akan membuatmu tersesat dan hilang dari
rahmat Allah SWT.
Maka carilah Sang Guru itu demi kebaikanmu. Mintalah dalam
munajatmu kepada Allah SWT seorang guru sejati yang dapat membimbing lahir dan
batinmu. Bukan hanya sampai keterkabulan hajat. Karena sesungguhnya setan pun
dapat mengabulkan hajatmu. Mursyidmu adalah seseorang yang kelak menolongmu
dalam gelombang dahsyat Hari Pembalasan. Pertolongan yang berupa perpanjangan
syafaat dari Rasulullah SAW. Dan yang terbaik adalah jika sang Guru bersambung,
baik itu SANAD ilmunya atau NASAB nya kepada Beliau SAW. Pilihlah satu
diantaranya. Alangkah beruntungnya mereka yang bersama Gurunya kelak. Bergandengan
tangan, beriringan menuju keindahan abadi di dalam Jannah. Semoga aku pun
termasuk diantara yang beruntung itu.
Semoga risalah ini berguna bagimu. Izinkanlah saya dan semua keluarga
serta guru dan mursyid menjadi bagian yang terindah bagimu. Apapun itu
bentuknya, sesungguhnya kita mencintai kebaikan. Tugas kitalah untuk menarik
para sahabat yang terperosok, agar kembali bangkit… Doaku selalu untuk para Sahabat.
Sanad
Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang
dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai
matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa
orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini
umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at.
Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang
meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qiraa’at,
yang berhulu pada Rasulullah SAW. Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang
menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu
yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan
adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.
Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan
dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul
wa alada’ (mengambil dan memberi).
Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan
pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat
dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap
perawi.
Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan
hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga
dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.
Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat
penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap
sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin ( 110 H/728 M)
mengungkapkan :
“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama.
Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M),
yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :
“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena
menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia
ingin katakan”.
Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya
sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan
umat ini dengan sanad.
Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu
tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan
malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular
berbisa dan ia tak tahu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar